Priiiiiitttt…
Pluit melengking bagai awal sebuah kehidupan. Orang-orang bersorak-sorai. Tapi sejak tadi sepi sudah menyergapku. Aku terkapar di barisan belakang bangku stadion ini. Lengking pluit seperti membuka kembali layar kehidupanku.
Bola tiba-tiba saja sudah di depanku. Yeah, cepat kukejar sebelum direbut lawan. Kutendang sekeras-kerasnya. Busyet, meleset lagi, batinku. "Begooo… jangan melamun saja, ayo konsentrasi." Hah, itu pasti suara pelatihku dari pinggir lapangan. Kuperhatikan setiap arah benda bulat itu berlari. Aku juga harus ikut berlari mengejarnya.
Kesebelasan Persimbat lumayan tangguh. Kami agak kewalahan. Kutebar pandangan ke seluruh stadion. Para penonton terdengar bersorak-sorai mendukung Persimbat. "Ya, namanya juga bertanding di daerah lawan, saya kan harus mempersiapkan diri, Mbak."
"Tapi kan kamu tak harus melupakan saya. Apa nggak rindu sama saya?" dia bertanya dengan nada bingung sekaligus cemas. Atau mungkin dia punya kata lain mewakili perasaannya.
"Maafkan saya," hanya itu.
"Hhhhmm."
Ups, lagi-lagi aku terkejut ketika bola tiba-tiba saja kembali dihadapanku. Kubawa sebentar berputar-putar di lini belakang. Kulewati dua orang pemain Persimbat. Mereka terjatuh. Bola masih di kakiku. Seorang rekanku melambaikan tangan di depan sana. Kuarahkan tendanganku dan….. berhasil.
Yeah….. aku memang pemain belakang andalan Persikat. "Sekali lagi termenung, ku keluarkan kau dari lapangan." Sialan, lagi-lagi pelatihku membentak. Rupanya umpan manisku tak membuat dia lebih menghargai aku. "Habis, hidup saya memang begini, mau apa lagi?" kusambung lagi lamunan pembicaraan kami kemarin. Aku seperti bermimpi mengingatnya.
Seorang wanita. Dengan rambut ikal mayang. Dengan bibir yang selalu menggoda. Kulit putih dan mulus. Ah, aku benar-benar membayangkan dirinya utuh di lapangani.
"Saya mengerti, tapi kan bukan berarti kamu tak bisa memberi waktu buat saya."
Aku diam saja.
"Atau kamu memang punya wanita lain selain saya?"
"Mana mungkin, Mbak!"
Bisa kubayangkan jika dia cemberut seperti. Wah, pasti lebih cantik. Entahlah, wanita selalu tampak lebih cantik jika sedang cemberut. "Coba saya tanya, apa sih yang kurang dari Mbak," kataku.
"Huh… gombal kamu."
"Lha, jujur kok dikatakan gombal."
Kali ini aku sudah menyambar bola lagi. Seperti tadi, aku mainkan sebentar dan kutendang keras-keras. Memang benar kata orang-orang, aku punya bakat yang besar. Katanya, ketika mengandung ibuku ngidam aneh. Kalau wanita lain ngidam buah-buahan asam, ibuku minta bolai. Padahal ibuku tak pernah suka sepakbola. Lantas bola yang dibeli bapak seharga lima belas ribu rupiah, kata orang-orang, selalu dibawa-bawa kemanapun oleh ibu. Hingga menjelang kelahiranku bola itu masih nempel terus. Tak mau ia lepaskan. Kalau saja dokter tak melarang ibu membawa bola itu ke ruang bersalin, tentu aku sudah lahir didampingi bola.
Begitulah, aku jadi amat gemar sepak bola. Kumulai karirku dari bawah sekali. Mulanya aku bercita-cita menjadi pemain sepak bola kampungku. Lantas menjadi pemain sepak bola kampung terkabul, dan aku pun punya mimpi lain. Tidak tanggung-tanggung, aku ingin jadi pemain sepak bola dunia. Dan nyatanya, impian itu juga terwujud. Kadang aku pikir hidup ini persis seperti bola. Berputar. Kadang dibawah, kadang diatas. Persis seperti putaran
hidupku.
"Anda jangan berkata begitu dong, Mbak."
"Buktinya," dia menggerutu.
Aku terengah-engah, selamat sudah daerahku dari serbuan pemain depan Persimbat. Angka tetap 0-0. Para penonton rupanya sudah gelisah melihat hasil pertandingan yang tak juga berubah. Seperti biasa mereka segera akan memaki-maki kami. Persikat sedang dijamu tuan rumah Persimbat. Suporter berjubel. Mereka datang lengkap membawa spanduk bertuliskan kata-kata semangat, ada yang membawa bendera, memakai topi warna kesebelasan, memakai kaus kesenelasan.
Tuhan…mereka sudah membakar ban disana, batinku berbisik melihat aksi suporter di tribun terbuka. "Semoga kali ini kami tak menang, Tuhan," aku berbisik lebih jelas, berharap Tuhan mendengarkan lebih jelas. Bukan apa-apa, jika kami menang habislah kami. Hujan batu, botol minum, kantung plastik air kencing. Dan kami akan terlambat lagi sampai ke hotel. Padahal aku sangat berharap pertandingan segera selesai. Aku akan segera melesat menikmati suaranya. Aku sudah teramat rindu. Aku memang sedang punya masalah dengan wanita. Entahlah, mengapa seorang lelaki harus selalu punya masalah dengan wanita. Aku perhatian sebentar gawang Persimbat yang sedang digempur habis-habisan. Ya Tuha, kawan-kawanku benar-benar inging menang.
Yeah, nasib Persimbat sudah diujung tanduk. Tapi aku tetap berharap kami tak usah menang. Persetan dengan iming-iming uang imbalan kemenangan. Ada yang lebih aku perlukan.
"Jadi kamu akan menelepon saya?"
"Ya, besok, langsung seusai pertandingan."
"Baik, saya beri waktu sampai besok. Kalau tidak, kamu tahu sendiri akibatnya," dia mengancam.
Huh..dasar perempuan.
"Saya tak percaya kamu."
"Anda kok gitu, sih, Mbak?"
"Ya, karena kamu memang seperti itu."
"Seperti apa, Mbak?"
"Ihhh, kamu nggemesin ya," ujarnya manja.
Yeah, pertandingan sebentar lagi usai.
Aku sudah benar-benar tak sabar untuk mendengar suaranya. Kadang kami bercerita panjang sekali, tentang sepakbola sekalipun.
"Jadi kalian menang?"
"Ini berkat doa Mbak." Barulah kami bercerita yang lain.
"Kemarin dia datang lagi."
"Mau apa dia?"
"Dia mengajak kawin. Dia minta aku kembali lagi jadi isterinya."
"Mbak mau?"
"Enak saja, kan sudah ada kamu."
"Hehehehe."
"Tapi saya takut," suaranya parau.
Aku terkejut. "Apa katanya?"
Dia diam mengatur napas. Lama sekali, hingga aku tak sabar menunggu. "Dia mengatakan masih mencintaiku."
"Mbak percaya"
"Entahlah…"
"Kok gitu sih jawabannya?"
"Jadi saya harus jawab apa."
Kami terdiam. Lama sekali. Kubayangkan dia seberang kawat telepon sana. Hanya desah nafasnya terdengar satu-satu. "Entahlah....."
"Anda bebas memilih, Mbak," aku mencoba memberi pilihan.
"Kamu kok begitu, sih." Dia terdengar tak senang dengan pilihan yang kutawarkan.
"Jadi maksudmu saya harus memilih dia?"
"Bukankah mbak yang selalu mengharapkan perkataan cinta. Sebuah perkawinan?"
"Ya, itu karena kamu tak pernah mau melakukan itu."
"Sudahlah, Mbak."
"Jadi kamu memang tak mencintai Saya. Kamu tak mau kawin denganku. Kamu sudah bosan dengan saya, ya."
Kami terdiam lagi. Sejurus kemudian dia sudah terisak. "Mbak……"
Aku tak mengerti dengan sikap wanita ini. Entahlah, bagiku seorang wanita memang sangat membingungkan. Mereka bisa tertawa, bisa menaklukkan laki-laki. Tapi tiba-tiba saja bisa menangis tersedu-sedu. Begitu tak berdaya.
"Kamu memang tak mencintai aku. Apa sih yang kurang?" Dia berkata setengah berteriak.
"Mbak…..Mbak……" aku coba menenangkannya. Wanita itu kini sudah menangis. Isaknya keluar sepotong-sepotong.
"Kamu memang laki-laki tak tahu diri. Kulayani kamu siang dan malam. Tak perduli di ranjang, di dapur. Aku selalu layani walau yang aneh sekalipun. Toh semua kuberikan juga. Kubiarkan diriku kamu piting seharian dibawah selimut. Kudengar suara dengkurmu dan baumu yang sampai sekarang masih melekat di tubuhku. Aku jadi tong sampah semua kekesalan serta ambisimu. Dasar laki-laki bangsat!" Akhirnya dia membanting gagang telepon dan tak mau berbicara denganku lagi.
Pluit panjang melengking. "Kakek, ayo kita pulang." Sengatan matahari pukul lima sore tiba-tiba terasa menusku kepalaku, Aku kerutkan mataku, sambil melirik jam tangan. Ah, tak terasa aku sudah duduk termenung hampir 110 menit. Dia masih terus saja muncul dalam semua pertandingan sepak bola. Mungkin, jika kami berjumpa lagi, dia tak akan mengenalku lagi. Tapi aku masih ingat suaranya. Ada yang bilang wanita itu menikah kembali dengan mantan suaminya. ''Ayo kek, jalan kita.'' Kuangkat tanganku ogah-ogahan untuk dipegang cucuku. Sudah tiga puluh tahun wanita itu masih hinggap di sendi-sendi ingatanku, setiap menonton pertandingan sepak bola, yang manapun.
***
Senin, 17 Mei 2010
Pada Pertandingan Sepakbola
Diposting oleh Ruki Akira Yasuhiro di 01.03
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar